Author: mbah jito OK la..yaw // Category:
Ni Komang Ayu Sudiastini
04.07.1726
ASKEP CIDERA KEPALA
A. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
1. oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
2. trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
C. Manifestasi klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut dengan cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat disembuhkan. Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan puyeng. Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda penyakit dan gambaran penyakit, namun keadaannya reversibilitas.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah ingatan, cepat lelah, amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila tidak ada kelainan EEG.

Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga beraneka ragam, bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan kesimpulan mengenai cidera kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam atau seharian, apalagi kalau tidak menampakkan gejala penyakit gangguan syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
D. Patofisiologi
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus – menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
E. Klasifikasi
Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :
1. Cidera kepala terbuka
2. Cidera kepala tertutup
1. Cidera kepala terbuka
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.
Fractura Basis Cranii
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di depan:
1. Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan arachnoidal.
2. Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus maksilaris masuk ke lapisan selaput otak encepalon.
3. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii. Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata (III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.
2. Cidera kepala tertutup
Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi). Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah kecil/perifer cabang-cabang a. meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr. Capitis).
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.
b. Subduralis haematoma akut
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).

c. Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna “pelebaran pembuluh darah”. Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe centralis - kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).





E. Pemeriksaan diagnostik
1. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).
2. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
4. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
7. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

F. Pengobatan
Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam), akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam waktu paling lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam) tidak memberikan perbaikan keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.
Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
• Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan komponen membran lain dari kerusakan.
• Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.
• Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.
• Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.
• Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.
• Menghambat pelepasan asam arakhidonat.
H. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit meningkat.
7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata.
I. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.

Tujuan:
o Mampu mempertahankan tingkat kesadaran
o Fungsi sensori dan motorik membaik.
Intervensi :
o Pantau status neurologis secara teratur.
o Evaluasi kemampuan membuka mata (spontan, rangsang nyeri).
o Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana.
o Pantau TTV dan catat hasilnya.
o Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien
o Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi melalui IV dengan alat kontrol
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.

Tujuan :
o pasien mengatakan nyeri berkurang.
o Pasien menunjukan skala nyeri pada angka 3.
o Ekspresi wajah klien rileks.
Intervensi:
o Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya.
o Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi, trauma servikal.
o Berikan kompres dingin pada kepala
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
Tujuan :
o mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
o Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Intervensi :
o Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan, sensori dan proses pikir.
o Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul dan kesadaran terhadap gerakan.
o Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.
o Berikan lingkungan tersetruktur rapi, nyaman dan buat jadwal untuk klien jika mungkin dan tinjau kembali.
o Gunakan penerangan siang atau malam.
o Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.


4. Gangguan mobilitas fisik b/d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
Tujuan:
o tidak adanya kontraktur, footdrop.
o Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
o Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya
Intevensi :
o Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
o Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional, seperti bokong, kaki, tangan. Pantau selama penempatan alat atau tanda penekanan dari alat tersebut.
o Berikan/ bantu untuk latihan rentang gerak
o Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan.

5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

Tujuan:
o Bebas tanda- tanda infeksi
o Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
Intervensi:
o Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
o Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik drainase dan adanya inflamasi.
o Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran nafas atas.
o Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi.
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit meningkat.
Tujuan:
o Menunjukan membran mukosa lembab, tanda vital normal haluaran urine adekuat dan bebas oedema.
Intervensi:
o Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan.
o Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan, ukur berat jenis urine.
o Berikan air tambahan/ bilas selang sesuai indikasi
o Kolaborasi pemeriksaan lab. kalium/fosfor serum, Ht dan albumin serum.
7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan
Tujuan:
o Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam rentang normal.
o Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Intervensi:
o Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
o Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/ hilangnya atau suara hiperaktif.
o Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan lewat NGT.
o Berikan makan dalam porsi kecil dan sering dengan teratur.
o Kaji feses, cairan lambung, muntah darah.
o Kolaborasi dengan ahli gizi.
8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata.
Tujuan:
o Memperlihatkan pola nafas normal/ efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien.
Intervensi:
o Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
o Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan posisi miring sesuai indikasi.
o Anjurkan pasien untuk latihan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
o Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara- suara tambahan yang tidak normal. (krekels, ronki dan whiszing).
o Kolaborasi untuk pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.
o Berikan oksiegen sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA


Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC.

Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Kperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung.

Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak Dipublikasikan

Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa Aksara.

Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : EGC.

Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG.
Label : Phone Cell Wallpapers Game Phone Free Games Free car body design

0 Responses to " "

Posting Komentar